RESENSI BUKU
NILAI ETIKA YANG TERDAPAT DALAM KARYA SASTRA
PUJANGGA JAWA
Judul Buku : KONTROVERSI SERAT GATHOLOCO
(Perdebatan Teologis Penganut Kejawen dengan Paham Puritan)
Penulis : Siti Maziyah
Penerbit : Panji Pustaka, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2010
Tebal : viii + 147 halaman
NILAI ETIKA YANG TERDAPAT DALAM KARYA SASTRA
PUJANGGA JAWA
Buku ini pada awalnya menceritakan tentang Falsafah hidup tokoh Gatholoco. Namun pada intinya buku ini tidak spesifik membahas tentang Suluk Gatholoco itu sendiri. Di dalamnya terdapat beberapa pendapat antara ahli syariat dengan ahli kejawen. Dijelaskan pula bahwa dalam perjalanannya, kebudayaan Jawa pernah digoncangkan oleh tulisan yang dimuat dalam Serat Gatholoco. Perdebatan teologis antara penganut kejawen dengan paham puritan menjadikan kedua belah pihak saling bersitegang. Ketegangan yang bersifat teologis ini akhirnya juga merembet pada kehidupan kultural di tanah Jawa.
Selama ini pengkajian tentang keberadaan Suluk Gatholoco lebih banyak disoroti dari sisi negatifnya, sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian secara ilmiah terhadap Suluk Gatholoco. Harapannya agar diperoleh sebuah pemahaman yang obyektif dan tidak menimbulkan gejolak sosial di tengah-tengah masyarakat. Konsep golongan santri, golongan abangan dan golongan priyayi yang populer di kalangan sosiolog dan antropolog sebenarnya dapat dilacak dari wacana yang dikembangkan dalam Suluk Gatholoco.
Seperti disebutkan diatas, bahwa buku ini tidak hanya membahas spesifik mengenai Suluk Gatholoco, tetapi juga menjelaskan tentang beberapa serat dan kitab lainnya, seperti Serat Wedhatama, Suluk Sujinah, Suluk Gita Prabawa, Suluk Dharma Gandhul dan Kitab Bayanmani. Secara garis besar, sebenarnya semua karya sastra pujangga Jawa tersebut mengajarkan tentang kebaikan. Hanya saja beberapa orang terkadang salah menafsirkan isi dari karya sastra tersebut, sehingga menimbulkan perdebatan.
Ajaran yang termuat dalam karya sastra tersebut diantaranya mengajarkan tentang keutamaan orang hidup. Keutamaan orang hidup adalah gemar prihatin, dan tidak boleh berfoya-foya. Menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya. Diterangkan pula bahwa didalam kehidupan, haruslah selalu bersikap rendah hati, tidak boleh menyombongkan diri.
Mencampuradukkan antara
ilmu syariat dengan ilmu hakikat dimata orang awam dapat menimbulkan kebingungan, karena memang terdapat perbedaan mencolok antara keduanya. Ahli syariat sangat mengutamakan amal lahiriah, sedangkan ahli hakikat sangat mengutamakan amal batiniah.
Budaya Jawa Kejawen memahami kepercayaan pada berbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak hati-hati. Untuk menghindari semua itu, orang Jawa Kejawen memberi sesajen atau caos dhahar terhadap roh-roh tersebut yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan.
Nafsu adalah keinginan yang berupa perasaan-perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia dan membelenggunya secara buta pada dunia lahir. Nafsu didalam mata Jawa berbahaya karena manusia yang dikuasai oleh nafsu, tidak lagi menuruti akal budinya. Dalam istilah Jawa terkenal adanya lima nafsu (malima), yaitu madat, madon, minum, mangan, main.
Pamrih adalah hal kedua yang harus dihindari. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan individualnya saja dengan tidak menghiraukan kepentingan-kepentingan masyarakat. Pamrih terutama kelihatan dalam tiga nafsu, yaitu selalu menjadi orang pertama, menganggap dirinya selalu betul dan hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri.
Dalam kehidupan berumah tangga, seorang suami harus senantiasa memberikan ajaran tentang kebaikan kepada istrinya, meskipun sang istri itu sudah berbudi baik, tetapi harus senantiasa masih diperbaiki lagi. Seperti halnya rumah yang sudah bagus, setiap kali perlu dibersihkan agar nampak lebih indah. Demikianlah hendaknya yang dilakukan lelaki terhadap istrinya.
Seorang anak tidak boleh berani ataupun menentang terhadap perintah kedua orang tuanya, karena hal tersebut merupakan dosa besar. Begitu pula sebaliknya, orang tua wajib mengajarkan tentang kebaikan terhadap anaknya. Apabila orang tua melenceng dari aturan ataupun ajaran agama, seorang anak wajib hendaknya mengingatkan, namun jangan sampai menyakiti hati orang tua.
Seorang abdi harus ikut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang menimpa tuannya, memperingatkan tuannya jika akan berbuat salah, memberi nasehat, bahkan harus rela berkorban demi tuannya.
Manusia diberi kewajiban berusaha memperbaiki takdirnya, tetapi takdir itu Tuhan juga yang menentukan. Takdir memang sudah digariskan oleh Tuhan bagi umat-Nya, tetapi takdir itu ditentukan sendiri oleh kemauan dan pikiran manusia. Kemauan dan pikiran manusia itu ditentukan oleh perasaan menuruti kemauan lahir. Jadi dalam menuruti kemauan lahir itu, manusia harus berhati-hati, jangan hanya menuruti hawa nafsu.
Suluk Gatholoco, Suluk Sujinah, Suluk Darmo Gandhul dan Suluk Gita Prabawa, seperti hasil karya kitab-kitab suluk pada umumnya mengetengahkan ajaran yang berkaitan dengan empat tahap perjalanan yang harus dilalui manusia dalam upaya menuju kesempurnaan dirinya. Keempat tahap itu adalah syariat, tarekat, hakikat dan makrifat.
Kelebihan buku ini adalah memberikan pengetahuan bagi para para pembaca tentang arti hidup yang sebenarnya. Memuat tentang ajaran-ajaran yang baik untuk kehidupan. Sebenarnya karya sastra pujangga Jawa itu semuanya baik, namun karena ada beberapa pihak yang salah dalam penafsirannya, sehingga menjadikan kontroversi antara golongan Kejawen, golongan santri dan golongan priyayi.
Kekurangan buku ini adalah terdapat banyak sekali penggunaan bahasa dan kalimat yang digunakan secara berulang-ulang, sehingga sedikit menimbulkan kebingungan dan kebosanan bagi pembacanya. Terdapat banyak kata yang tidak sesuai EYD dan banyak kesalahan didalam pengetikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar