Metodologi Filologi
Perkembangan rasionalisme pada abad ke-18 juga berpengaruh pada pemahaman tentang hermeneutika. Hermeneutika pun, yang tadinya hanya digunakan di dalam proses penafsiran Kitab Suci, ternyata juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lainnya, yang non Kitab Suci. “Norma-norma penafsiran Kita Suci”, demikian tulis Spinoza, “hanya dapat menjadi cahaya bagi rasionalitas yang cocok untuk semua.”
Tantangan untuk menerapkan metode hermeneutika pada bidang-bidang non Kitab Suci. Yang menjadi
Sebagai fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. “Setiap penafsir”,tulis J.S Semler,”haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda...”[7] Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang “sejarahwan”, yang mampu mengerti dan memahami “roh” historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
Ilmu Pemahaman Bahasa
Dalam bidang ini, filsuf yang banyak memberikan kontribusi adalah Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika sebagai semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami. Pemahaman semacam ini mau melampaui konsep, yang melulu memandang hermeneutika sebagai kelompok aturan koheren dan sistematis, yang merupakan panduan utama untuk menafsirkan teks. Schleiermacher tidak puas hanya dengan memandang hermeneutika sebagai metodo filologi, seperti yang sedikit sudah dijelaskan di atas, melainka juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”.[8] Prinsip-prinsip hermeneutika umum dapat juga berfungsi sebagai landasan atas berbagai macam penafsiran teks.
Dengan merumuskan hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”, ia, untuk pertama kalinya, memahami hermeneutika sebagai studi atas pemahaman itu sendiri. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.
Landasan Metodologis bagi Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Wilhelm Dilthey, satu filsuf yang banyak berbicara tentang hermeneutika pada abad ke-19, berpendapat, bahwa hermeneutika adalah displin berpikir, yang dapat digunakan sebagai landasan metodologi untuk ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu-ilmu yang memfokuskan analisanya pada pemahaman akan seni, tindakan sosial manusia, maupun karya-karyanya.
Menurutnya, untuk menafsirkan dan memahami ekspresi dari karya-karya manusia, terutama dalam bentuk karya-karya sastra, penafsiran Kitab Suci, dan penafsiran hukum, diperlukan tindakan pemahaman sejarah, yang secara operasional berbeda dengan metode sains yang kuantitatif untuk memahami gejala-gejala alam. Ia berpendapat bahwa di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan diperlukan “rasionalitas” yang lain untuk memperoleh pemahaman sejarah, yang berbeda dari “rasionalitas murni” Kantian, yang dapat digunakan untuk menafsirkan alam. Jenis “rasionalitas” untuk memperoleh pemahaman di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah “rasionalitas historis”.
Hermeneutika, bagi Dilthey, adalah displin ilmu yang berfokus pada problem penafsiran, dan terutama sekali adalah penafsiran atas obyek-obyek historis, yakni sebuah teks. Oleh karena itu, metode yang paling tepat adalah memahami, dan bukan mengkalkulasi secara kuantitatif, seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Dalam hal ini, ia telah merumuskan landasan yang lebih manusiawi dan historis tentang metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar