TERJEMAHAN
TEKS PRASTHANIKAPARWA
1. Demikianlah
Sang WaiÇampãyana akan berpaling,
tetapi
mahãrãja (raja besar) Janamejaya hanya
berpaling darinya
:
“ Hai pendeta Mahamuni, apakah perbuatan
raja besar Yudhişţira, sehingga dia akan habis dibunuh sang kelompok Yadu?
Bagaimana, ini membuat ddua terus supaya diberi
bantuan”.
Disana Raja besar Janamejaya, berkatalah
bhagawan WaiÇampãyana, anda akan
berpaling :
“
Bahwa petuah (contoh) raja besar Yudhişţira buat Sang Arjuna,berkatalah beliau:
“ ingatlah kamu akan diberi bantuan Sang
Dewa Kala begini, karena dari segala sesuatu yang ada/mahkluk mati, Sang Dewa
Kala dari segala sesuatu yang ada itu, kita serta melihat kekhawatiran Sang
Dewa Kala karena sebaiknya kita beristirahat di tempat saudara pada lubang gua
di hutan sebab mereka bertemu membicarakan tiga dunia , olehmu jangan bernafsu
pada
kerajaan”.
kerajaan”.
Demikian perkataan raja agung
Yudhisthira, memberitahukan sang Arjuna beserta saudaranya semua akan segala
maksudnya raja agung Yudhisthira, sampai kepada sang Dropadi diberitahukannya,
menyetujuilah beliau semua, bersama-sama menetap dan bertempat tinggal. Di
sanalah dinobatkan sang Pariksit, memilih
raja bagi Hastinapura, sang Yuyutsu merasakan mengenai beliau Bagawan
Krpa, adanya upacara kurban untuk menghormati arwah nenek moyang dan mengadakan
upacara jenazah sang tarik Yadu, memberikan hadiah uang bagi sang Brahmana, sesudah upacara itu
selesai ditanggalkan pakaian kerajaannya, diberikan bagi sang Pariksit,
menyambutlah beliau, segala tanda dari biksu, sampai kepada sang Bhima Arjuna
Nakula Sahadewa, semua bersama-sama memulai tapa semua, menjaga sang Dropadi,
berpesan beliau pada sang Subhadra, berkatalah
anda :
anda :
“Adiknya menyatakan hormatnya yang dalam
kepada sang Subhadra, menunjukkan perasaannya, engkau diserahkan kepada sang
raksasa Perikesit penguasa jagad raya, kemudian sang guru yang bijaksana,
melarang kamu mengalirkan tangisan, inilah penguasa hutang yang sedang
berjanji, menunjukkan perasaan hati”.
Sang Subadra yaitu penguasa yang tidak
tersohor, pulang ke alam bawah atau alam ular, Citranggada pulang ke Nipuradeca,
istri raja pulang ke desanya tumenggung sang Prabhawaha, inilah istri dari lima
sekawan yang menyebabkan berakhirnya Hastinapura yang bersandar kepada sang Parikesit,
menangislah mereka semua, terbunuhlah sang Sembadra.
2. Keluarlah
sang Pandhawa, keenam bersama Dropadi, ada anjing yang ikut sang Pandhawa, kemudian mengikuti sang
Yuyutsu utuk menjaga Bhagawan Krpa, orang-orang tani, menjaga sang Brahmana,
ksatriya, waisya, sudra, bersama-sama melanjutkan ke belakang, menangis tidak
tahu kekuatan mereka, bunyi itu istri yang tertinggal tidak terdengar tangisan
mereka semua, ingat ulah mereka, ketika mereka kalah berjudi, demikianlah
perbuatan mereka, tetapi tidak ada ganti mereka yang merawat beliau, sedangkan
tangisnya terus menerus, agar makmur, pula sang Yuyutsu, Bhagawan Krpa supaya
mengembalikan, kepada sang Yuyutsu, menyembah maharaja Yudhisthira, kemudian
sedih dan sakit, tidak akan dibicarakan sang Yuyutsu, Krpa, pergilah berjalan,
sang Pandhawa, bersama Dropadi, ada
anjing yang mengikutinya, dan di datanginya, seorang yang teguh setiannya agar
ketujuh orang berjalan bersama saya. Perjalanan anda ke Utara, bertemu dengan
sungai, kemudian beliau datang ke sungai di pegunungan, jalannya itu ke timur,
dahulu laut pula, tetapi sekarang Arjuna berkelana, Sang gendawa Mahesudhi tak
kunjung binasa : kelihatan itu Sang Dewa Api dalam bentuk manusia, supaya
beliau menyamar.
“Hai Pandusta wirah! Anda anak Sang Pandu,
dia Sang Dewa Api, Sang Arjuna membakar hutan : gendawa Mahesudhi itu sebaik
anda. Supaya mengembalikan ke Baruna, bukankah habis guna iri hati anda,
seperti sudah habis guna oleh senjata bagus Bhatara Kresna, pergilah mereka,
kesanalah, diberikan mereka ke Bhatara Baruna, bukankah pendeta ada yang
berguna”.
Kesana meminta pendapat dewa Agni,
berhati-hatilah Pandawa, diberikannya gendewa Mahesudhi yang dijatuhkannya oleh
air samudra, maka senanglah dewa Agni, selanjutnya Pandawa berjalan, pergi ke
Selatan melanjutan perjalanan melewati air, tidak ada yang mengikuti mereka,
selesainya anak panah dan gendewa dikembalikan pada Bhatara Baruna, itulah
sebabnya maka pelanjutan perjalanan mereka
menuju kea rah selatan ke Bharatawarsa, datanglah mereka ke Daksinagara, selanjutnya ke Pacimasagara,
yang dipenuhi air laut, berhenti menjadi negara, menangislah mereka sampai
penghabisan, terharu sampai tidak terlihat tarik yadu, bukankah penuh riak,
tidak diwarnai oleh riak, datanglah mereka ke gunung Himawan, di sana mereka
semua bersemadi, percaya kepada hatinya Bhatara oleh sang Hyang Mahameru,
bertemulah dengan beliau walukarnawa, tempat mati karna yoga, Drupadi jatuh ke
tanah tak bergerak, Werkudara memberitahukan.
3. “
kakak, Sri Baginda Maharaja Yudhistira, melihat tuan putri Drupadi, mati
berguling di tanah, tidak kuasa mengikutsertakan tuan putri, tolonglah beliau
dengan perlindungan.” Perkiraan Dharmawangsa : “ adik hamba, Bhima, jangan amat
kau sesalkan Dia.”
Pakṣapāto
mahān asyā wiҫeṣeṇa dhanañjaye tasyaitat
phalam adyaiwa prāpnoti kulasattama“. Kita bersaudara lima ,
lihatlah, lebih sukanya pada Arjuna, semoga buah perbuatan darinya, yaitu
bertemu Dia.
“Sri Raja, sang Sahadewa juga meninggal,
terlihat terguling-guling di tanah, adapun peristiwanya, bagaimana perasaan
menurut pendapatnya?” “adik saya, sang Wrkodara, inilah kejadian yang dialami”.
Na
kasyacid mahāprajāńā ātmanaḥ sadṛḉā bhawet, tena doṣeṇā patitas tasmād eṣa nṛpātmajaḥ.
“ada perpisahan seseorang yang ilmunya
sama, bagaimana dahulu di dalam
kerajaannya seperjalanannya bertemu lagi dengan mereka, suatu kebenaran
kematian, apa ia sukar menggunakan kebijaksanaan mereka di dunia nantinya, yang
sebesar lengan demikian itu, dosa mereka itu, sebab jatuh, janganlah kalian
sakit”.
“Sri raja, beginilah sang Nakula ikut
mati, bagaimana sebabnya?”
Sang Werkudara berkata kepada hamba:
“Rȗpeṇa
matsamo nȃsti kaçcid ity asya darçanam, adhikaç cȃham ewaika ity asya manasi
sthitam”.
“Barang siapa yang mengetahui yang
bernama Nakula, yang tidak ada persamaan dari rupanya, dan ia menumbuhkan
kesombongannya, begitu kemudian kekurangannya, yang tidak boleh kita ikuti.”
“Nama pada hamba kakak raja, inilah sang
Arjuna yang mempunyai kekuatan seperti sang hyang Indra, tiba-tiba mati tanpa
sebab, terlihat berbaring di tanah.”
“Ekȃhnȃ
nirdahet çatrȗn ity uwȃca Dhanaňjayaḥ, tathȃ caitan na tathȃ ca karttawyaṃ
bhȗmim icchatȃ”.
4. Pada
jaman dahulu ketika berperang melawan Kurawa, Arjuna menyangka bahwa dalam
jangka waktu satu hari dapat mengalahkan Kurawa. Namun siasatnya meleset, ia
hanya mencari perlindungan saja untuk menyelamatkan diri supaya tetap hidup.
Itulah hukuman bagi Arjuna, sehingga ia mati tak dapat mengikuti.
“Baginda raja, tolonglah tuan hamba
Bima, bahwa badan kami hingga gemetaran, tanpa mengikuti kuasa tuanku”
“Disitulah sifatnya yang gemar makan,
lagipula dia tidak memperdulikan yang lain, perkataannya pun kasar, dan
menyombongkan kesaktiannya. Mereka itulah yang menjadikan kami, sekarang
tenangkanlah hatimu”.
Demikianlah kiranya sang Raja mati tergelincir
sang Bhima. Setelah kematian keempat Pandhawa dan sang Dropadi, sesudah itu
maharaja Yudhisthira tinggal berdua dengan seekor anjing, tak perlu dibicarakan
lalu sang Dharmawangsa tentang
perjalanan beliau, akan diceritakan tentang yang setelah itu meninggal,
mengenai jiwa mereka berjalan dalam penjagaan, bersama dengan kelima termasuk
Dropadi, setibanya mereka di dalam Banjaran Sari, melewati suatu tempat bertemu pintu dan meminta pintu: “ Nenek Anda Hyang
Dwarika, saya meminta pintu”. Jawab hyang Dwarika dengan hormat: “ Siapa yang
meminta pintu?”
“Ikut hamba, Sang Pandhawa”. “aku tidak memberi
pintu!”
Jawab Sang Bhima: “ Ah! Seandainya tidak
diberi, aku hancurkan pintu itu”.
Mereka bersama-sama membuka pintu;
melewati suatu tempat sampai di persimpangan jalan, seandainya mereka dibukakan
pintu, kemudian mereka lewat dan bertemu di jalan, Pandawa bingung tentang apa
yang hendak mereka perbuat. Banyak jalan sehingga tidak tahu jalan mana yang
hendak mereka ikuti. Akhirnya mereka menangis karena banyak jalan menuju ke
surga yang banyak arahnya. Yang ada hanya sepi, sunyi, senyap, kemudian mereka
bingung. Kemudian ada sang Resi Narada yang memberi tahu mereka di jalan,
kemudian memberitahukan agar mereka pergi ke Yamaloka, mengetahui sang Pandawa
dibohongi, karena sudah habis perbuatan khianat itu dari Doryudana , kemudian
dia bersembunyi. Lalu diikuti mereka ke arah Barat Daya, terlihatlah sang Karna
yang sedang sengsara/sedih melihat saudaranya sang Pandawa, apabila diikuti,
dia bersembunyi disana. Maka tidak diampuni bila hendak membayar hutangnya ke
Doryudana, maka langkah mereka dipercepat, namun langkah Karna terkejar oleh
sang Pandawa. Melihat sang Karna mengikuti mereka, mereka menyapanya:
5. “Selamat
datang kakak tuanku, apakah kemudian alasan akan mengikuti saya?”
Adik sang Dhananjaya, begini: hamba pada
dahulu, ijuk di antara daerah, berperang dengan tuanku, pembayaran hutangku
dengan Duryodhana, karena memeberi kesenangan pada hamba, hamba balas dengan
kematian, saya bersaudara dengan anda sang penarik Pandhawa, sekaranglah
bertemu kesengsaraan tak akan berpisah hamba sekarang, menyasar hamba di dalam
duka duka nestapa
Seperti itu kata sang Karna.tidak
menceritakan pada Yamaloka. Sesudah ia sampai. Diceritakan sang Pelindungnya.
Di dalam kematiannya sang empat Pandawa
kelima sang Dropadi, terakhir kemudian Yudhistira seorang diri, tetapi barang
siapa anjing naik dalam kereta:
“Raja Agung Yudhistira, kamulah kawan
dan anakku, tabiat manusia terendah itu demikianlah, agar supaya mendapatkan
surga, adapun kamulah hasil dalam surga, pahala dari pengetahuan tentang
dharma”. “Sang Bhatarendra, sungguh bukan main itu anugrah padaku, adapun
permohonan saya baik itu anjing bolehkah masuk dalam surga dengan kuasa yang saya
serahkan”
“Raja
Agung Yudhistira, apa yang dapat kulakukan untuk anjing ikut pulang ke surga,
meski kotor, bahkan jika memandangnya dalam nasi dan minuman keras, itu oleh
dewata jangan sampai tidak ada kamu untuknya “.
Demikianlah perintah Bhatararendra,
kiranya Sang Raja:
“tidak dibolehkan saya memutuskan
kesetiaan meninggalkan anjing itu, selalu setia mengikuti kemanapun saya pergi,
dan memutuskan julukannya agung di tempatnya, sehingga beliau itulah yang
mengalahkan ketidakselamatan/ kejahatan yang ditinggakannya”.
“Raja Yudhistira, yang menjadi keputusan
hukum tentu, apa kita meninggalkan keluarga kita, kesetaan itu telah berhenti
bagi tuanku.
“Sang Bhatara Indra, tidak memutuskan
namanya, tinggalkanlah apa yang menjadi bukti, masa hidup, menunjuk pada
kejahatan/dosa mereka dengan istri patih yang setia, patih brahmana, tidak
menolong kepada orang yang meminta pertolongannya, mencuri uang di kebaikan,
berkhianat kepada kawan, membunuh kawan, maka sesudah itu sebabnya tidak berhak
meninggalkan dia, lebih suka tidak pulang ke surga yang dijadikan panutan/cita
citanya,pasrah meninggalkannya”.
6. Kesana
perkataan Maharaja Yudhistira, hilang disana anjing, takhluklah Sang Hyang
Dharma kehalusan Maharaja Yudhistira:
“Anakku Maharaja Yudhistira, yang kedua
saya menguji padamu di zaman dahulu
(ketika engkau) di soraki di Dwaitawana, terjadilah bahwa kelihatan kejujuranmu
yaitu tidak maulah (kamu) menghidupkan Sang Bhisma Arjuna, hanya Sang Nakula
Sahadewa yang disuruh olehmu hidup oleh karena terlihat yang sakit Sang Madri,
maka (kamu) tidak mau, kesanalah beliau nanti mau ke pondok jangan naiklah ke
surga oleh cinta kepada anjing, tak ada caci maki dan merasa kasihan, matang
kepulangan dari surga dengan hidup dirantai
Demikian kata perkataan sang Dewa
Dharma, secara tidak terduga-duga kemudian datang sang pendeta Nȃrada,
mengiringi langkah sang Yudhiṣṭhira, terbang melalui langit memuji-muji:
“Lokān
āwṛtya yaḉasā tejasāwṛtya rodasĭṃ, swaḉarĭreṇa saṃprāptaṃ nānyaṃ ḉucruma Pāṇḍawāt”.
“ Mahȃrȃja Yudhiṣṭhira, beliau melihat hamba
pergi ke surga nama baik/jasa beliau, surga itu tentang dunia terhadap beliau,
tidak semua bisa kembali ke surga dengan hidup-hidup, makin terlihat yang lebih
dari beliau daripada raja-raja terdahulu”.
“Sang Dewa Indra”,
demikian Yudhiṣṭhira”, dengarkanlah pertanyaan yang hamba katakan: manakah
tempat orang saudara hamba itu semua katakan pada hamba?” demikian kata Yudhiṣṭhira.
“jangan menghiraukan itu, anakku
Mahȃrȃja Yudhiṣṭhira, jangan mencampuri urusan saudara-saudaramu, pikiran
manusia itu, tak kan bisa bersama-sama, karena tabiat tiap manusia berbeda dari
penjelmaan yang amukti phala dipekerjaannya, janganlah tuanku mencampuri urusan
sanak lain dan sang maharesi kapwa hendaknya diperhatikan olehmu”.
“Daulat Bhatara Indra, hamba tak dapat
peduli dengan sang Dropadi, demikian yang banyaknya hamba ikut suka cita.
“Tair
winanotsahe wastum mahadaitya –niwarhana gantum icchami tatraham yatra me
bhrataro gatah.”
“Dibuangnya tubuh hamba kembali pada
surga yang tidak ada sodara hamba dan Dropadi, hamba menolak,ini pendapat Hamba.
Demikianlah kata perkata maharaja Yudhisthira
pada raja dewa. Begini Prastnanikaparwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar