SOSIOLOGI SASTRA
1.
Pengantar
Sosiologi sastra sebagai suatu
jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi
epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra
berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra
adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki
keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang
teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan
dalam menangani objek sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra
dimaksudkan untuk
menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama
memperhatikan
hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan
ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang
ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya)
secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode
tertentu (Abrams, 1981:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan
orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra
merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3)
berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan
alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori
sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
2. Sejarah Pertumbuhan
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa
karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami
sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra
juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan
sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan
masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi
sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan
istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat
sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan)
pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan
Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi
teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan
suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah
kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide.
Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang
kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya
hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya
tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'.
Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena
seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni
seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak
semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru
karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang
kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan)
melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai
"universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya
kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat
kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang
berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis'
itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme
Renaissance dan nasionalisme Romantik.
Humanisme Renaissance sudah berupaya
mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan
menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik
yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis
ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme
Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali
tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua
pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni
positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi
sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan
kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi
sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi
sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang
digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah
karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta
tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu
kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia
faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang
selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi
manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen)
ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi
keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang
kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu
sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku
Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel,
dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis
kaku (strukruralisme) yang berkembang
waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model
kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari
Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang
anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah
merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi
sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk
mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat
kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine,
hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan
sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik,
namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari
dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
3. Teori Sastra Marxis
Pendekatan sosiologi sastra yang
paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis
biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang
diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan
bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya
ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu
mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas
ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi
dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman
-termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan
'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk
atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya
(Abrams, 1981:178).
Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang
terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu
tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini
tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi
menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas
yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan
produksi yang baru perlu
melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa
kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya
mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang
ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti
jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25).
Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik
sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting
dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
4. George Lukacs: Sastra
Sebagai Cermin
George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka
yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31).
Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam
keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah
struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih
dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar,
lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui
pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual
secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra
tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai
suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat
mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan
kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27).
Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang
sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber
dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki
totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak
memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas
kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal.
Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.
5. Bertold Brecht: Efek
Alienasi
Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang
terhakar jiwanya ketika membaca buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya
bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti
terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran
Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan
identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan
'katarsis' (pelepasan hehan) perasaan.
Menurut Brecht, dramawan bendaknya
menghindari alur yang dihuhungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai
universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu
dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton jangan
ditidurkan dengan ilusi-ilusi palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong
identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu
menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan
melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).
6. Aliran Frankfurt
Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial
yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan
teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori
sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis
Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik"
(dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis
kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud.
Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor
Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).
Seni dan kesusastraan mendapat
perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya
wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan
Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang
langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik
dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avant Garde. Seni-seni populer sudah
bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu
mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang
ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya
semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi).
Adorno menolak teori-teori
tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham
ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena
hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan
pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah,
diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan
alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang
dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi
dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.
7. Teori-Teori Neomarxisme
Kaum Neomarxis merupakan
pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan
bantuan
sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak
mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik,
ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum
Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam
hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran
Frankfurt, oleh beberapa pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori
Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin,
Lucien Goldman, dan Th. Adorno.
Neomarxisme lebih bersifat
epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham "metode
dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula
pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th.
Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini
(Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).
1) Metode dialektika
dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan
metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau
masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari
konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu,
mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam
masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan
observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai
implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena
masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.
2) Metode dialektik
berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah
individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan
memang terbuka
untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang
telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik,
sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan
masa depan yang masih jauh.
3) Aspek
teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak
dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah
yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka
kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap
suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi
dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada
konteks yang berbeda-beda.
4) Perlu
diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan
metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang
dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam
masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan
tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan
realitasnya.
Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric
Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari
penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita tidak hanya sekedar ingin
menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan kaum New
Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan
Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik
dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga
sejarah model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang
khusus.
Dalam bukunya The
Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981), Jameson
mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak
merupakan metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti:
psikoanalisis, kritik mitos, stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu
pandangan politik yang absolut. Dasar pandangannya adalah bahwa setiap teks
mengandung resonansi sosial, historis, dan polios. Dengan persepsi bahwa cerita
hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang hakiki, maka
pentinglah analisis mengenai 'ketaksadaran politis' dalam teks-teks sastra.
Dalam setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman
dialektikal pun sifatnya tidak mutlak. Metode dialektika menempatkan karya
sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas masyarakatnya.
Jameson mengungkapkan kekecewaannya terhadap paradigma
dan ohsesi intelektual paham strukturalisme selama kurun abad kedua puluh, yang
ingin memikirkan persoalan-persoalan hidup dan totalitasnya melalui sarana
bahasa dalam teks sastra (Eagleton, 1983:97). Menurut dia, bahasa hanya akan
menjadi semacam penjara bagi persoalan hidup dan totalitasnya karena hidup dan
permasalahannya terlalu luas untuk diwadahi oleh sarana bahasa.
Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu
merupakan bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian bentuk dan
struktur karya individual harus selalu dipahami dalam dimensi sejarah, yang
secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi. Sekalipun
faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam,
namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi
dan efek-efeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya,
ideologi, filsafat, agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara.
Manusia selalu berada dalam situasi 'ketaksadaran
politik. Teks-teks sastra pun mengandung ketaksadaran politik, yang menawarkan
strategi bagi pengbilangan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang
individual seolah dihius oleh ketaksadaran politik ini, sehingga dia secara
tidak sadar mengungkapkan modus-modus heterogenitas di luar teks. Heterogenitas
sosial mengakibatkan keberagaman teks. Dengan demikian tidak ada suatu kerangka
referensi yang pasti dan mutlak yang diperlukan sebagai model acuan bagi
eksplikasi tekstual. Setiap teks membutuhkan kategori-kategori eksplikasi
tertentu sesuai dengan kekhususannya, dan sifatnya pun hanya sekedar
menggambarkan saat tertentu.
Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha
meng-hidupkan kembali kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif
terhadap tradisi kritik Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel
Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra, menurut dia, adalah
mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak
merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata
(Selden, 1991:43).
Pada bagian penutup
bukunyaLiterary Theory: An Introduction (1985:194), Eagleton menyebut
teori-teori sastra modem yang 'murni' sebagai mitos airaftemik yang melarikan
diri dari kondisi huruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru
menjadi pelarian dari realitas menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka
bukannya terlihat dengan situasi konkret manusia, tetapi melarikan diri kepada
puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh, bukannya
terpecah-pecah), kebenaranabadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos,
bahasa, dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih
merupakan penipuan. Secara ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai
proyek kaum Scrunity (= peneliti yang
cermat), yang sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd
(Culler, 1988:57-68). Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi
borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke dalam
marginalitas sosial politik.
Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik
politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan
bermasyarakat yang meli-hatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Dalam kehidupan
bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra harus
mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara
vital terlihat dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran
abstrak (1985:196).
Seorang peneliti sastra harus membongkar
gagasan-gagasan kesusastraan dan menempatkan ideologi yang berperan membentuk
subjektivitas pembaca, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek politis tertentu
yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991:45). Dia melinat bahwa
kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal
dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada
relevansinya sama sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih
memperkuat sistem-sistem kekuasaan daripada menentangnya.
8 Rangkuman
Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan
antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah
yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori
yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu
baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh
Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya
doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.
Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan
pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat
dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para
teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan
resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti
menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai
hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang
memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan
aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.
Pemikir-pemikir Neomarxis
memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek
ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis
mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi
tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar